Pengalaman pleuritis TB dengan efusi pleura dan asites

Pada kesempatan kali ini aku tidak akan membahas seputar skincare atau makanan seperti biasanya. Ijinkan aku untuk bercerita tentang pengalaman pribadiku sebagai penyintas pleuritis TB dengan pengobatan 6 bulan lamanya. Sepertinya ini akan menjadi salah satu postingan blog ku yang panjang sekali. Harap maklum yaa, hehehe.

Pada hari ini tanggal 22 April 2021 tepat sudah setahun yang lalu aku selesai pengobatan OAT pleuritis TB. Dan tanggal 24 April 2020 yang lalu, aku resmi dinyatakan sembuh dari penyakit pleuritis TB. Alhamdulillah!

Aku berharap dengan adanya cerita di blog ini, kalian bisa mendapatkan informasi yang bermanfaat dan bisa mengubah stigma tentang penyakit TBC, sehingga tidak perlu menjauhi/ mengucilkan penderita serta menganggap penyakit TBC sebagai penyakit aib. Buat yang sedang mengalami penyakit yang sama tetap semangat dalam pengobatan dan jangan putus obat ya! Insha Allah bisa sembuh kok :).

Sebelum aku mulai menceritakan pengalamanku, aku akan sedikit memberi info terkait TBC yang mungkin sekiranya bisa memberi wawasan mendasar untuk kalian. 

TBC (Tuberkulosis)

Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Kebanyakan dari kita mengetahui kalau penyakit TBC menyerang organ paru-paru, dengan muncul gejala batuk yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu) biasanya disertai dahak dan terkadang mengeluarkan darah. Namun faktanya bakteri TBC bisa menyerang bagian tubuh lainnya seperti kulit, kelenjar getah bening, tulang, usus, selaput rongga perut (peritonium), selaput paru-paru (pleura), otak, atau organ yang lainnya.

Infeksi TBC juga terbagi menjadi TBC aktif dan TBC laten. Dimana TBC aktif dapat menularkan orang lain melalui percikan air liur atau droplet dengan gejala berupa batuk, sedangkan TBC laten/ tb non aktif tanpa gejala apapun sehingga tidak berpotensi menularkan bakterinya kepada orang lain. Dalam kondisi TB laten bakteri sedang dalam keadaan tertidur dan bisa berlangsung sampai bertahun-tahun. Kalau penasaran dengan TB laten bisa baca disini ya waspadai TB laten.

Perlu diketahui juga, TBC yang menyerang paru disebut TB paru sedangkan TBC yang menyerang organ lain atau di luar paru-paru di sebut TB ekstra paru. Untuk lebih lengkapnya bisa baca disini ya TB ekstra paru atau TB di luar paru-paru

Perlu diketahui bahwa saat ini TBC masih termasuk penyakit menular dan mematikan nomer 1 di dunia. Tapi jangan khawatir, TBC bisa di sembuhkan kok karena ada obatnya! Kalo informasi seputar TBC masih kurang lengkap, kalian bisa baca disini ya tuberkulosis.

Oke, sekarang langsung aja ya aku cerita pengalamanku sebagai penyintas pleuritis TB dengan efusi pleura dan asites. Gejala apa saja yang aku alami dan perjalanan proses yang aku tempuh sehingga bisa di tegakkan aku menderita sakit ini serta pengobatan yang kuterima sekaligus nanti aku juga bakalan cerita tipis-tipis pengalamanku menggunakan BPJS dari yang sebelumnya periksa jalur umum/ mandiri. Yuk langsung aja ku mulai ya.

Awal mula terjadinya

Sekitar bulan September tahun 2019, tengah bulan aku mengalami demam yang cukup tinggi. Waktu itu suhu sampai 38-39 derajat celsius. Dan berlangsung sekitar 2 mingguan lebih. Demam muncul saat siang menuju sore hari. Saat pagi sampai siang tampak baik-baik saja. Tidak ada gejala batuk, atau yang lain, hanya demam saja. Saat demam meningkat aku mengkonsumsi obat penurun panas sanmol, lalu turun setelahnya begitu terus ritmenya.

Tidak ada aku kepikiran aku bakalan sakit ini. Soalnya sebelum demam dimulai aku makan baso aci. Aku ingat betul saat itu. Sehabis makan aku malah demam. Aku pikir aku salah makan hehhee. Waktu itu demamku tidak hampir setiap hari ya. Ada jeda 1-2 hari aku sembuh dan baik-baik saja. Tapi kalo di hitung saat aku demam ya sekitar 2 mingguan.

Karena tidak tahan lagi dengan panas tubuh yang naik turun, serta ketakutanku jangan-jangan aku tipes ni, atau jangan-jangan aku demam berdarah ni. Ada keparnoan sendiri karena dulu pernah sempat di rawat inap akibat demam berdarah yang trombositnya waktu itu susah banget buat balik normal. Akhirnya aku memutuskan ke puskesmas.

Tanggal 26 September 2019

Akhirnya aku pagi ini memutuskan pergi ke puskesmas karena sudah frustasi dengan demam yang tak kunjung sembuh. Seperti biasa saat pagi kondisi badanku membaik tidak demam sehingga saat di puskesmas terlihat baik-baik saja. 

Puskesmas

Aku menyampaikan keluhan yang ku alami di puskesmas. Dan dokter hanya menanggapi santai, mewawancara seperti biasa saat berobat ke puskesmas tanpa ada pemeriksaan fisik apa-apa.  Dokter puskesmas kemudian memintaku untuk di cek darah lengkap dan lain-lain di puskesmas tersebut. Kebetulan puskesmas ini puskesmas besar, jadi tersedia laboratoriumnya.

Sehabis selesai pengambilan darah dan menunggu sekitar setengah jam- satu jam aku kembali lagi ke ruangan dokter puskesmas. Disana aku di jelaskan kalau aku baik-baik saja dari hasil pemeriksaan darah, hanya mengalami anemia. Saat aku di tanya apa masih ada obat penurun panas di rumah, aku jawab masih ada. Lalu di sarankan untuk meminum lagi jika kambuh demamnya.

Saat itu aku agak kaget, karena demamku sudah selama 2 minggu tapi kenapa dokter hanya memberi saran seperti itu. Tanpa memintaku untuk segera kembali ke puskesmas atau ke RS terdekat jika demamku tidak sembuh-sembuh untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Setelah itu kemudian aku disuruh balik ke rumah. Aku pulang dengan penuh tanda tanya.

Jujur saat itu aku agak kecewa saat pergi ke puskesmas. Karena aku tidak benar-benar mendapatkan informasi apa yang terjadi dengan diriku ini. Dan aku juga tidak dibawakan obat apa-apa dari puskesmas. Hanya diminta untuk meminum obat penurun panas lagi jika kambuh demamnya.

Dan benar saja, saat waktu menunjukkan pukul 14.00 badanku kembali demam, suhu waktu itu 38 derajat. Karena aku sudah cukup lelah dengan hanya mengandalkan obat penurun panas akhirnya aku memutuskan berobat mandiri ke rumah sakit swasta dekat rumah. 

Rumah sakit 

Di rumah sakit untung saja ada poli sore dokter umum. Aku menceritakan keluhanku kepada dokter, kemudian aku di periksa fisik dan di minta untuk pemeriksaan darah (darah lengkap dan tes widal untuk pemeriksaan tipes). Saat hasil pemeriksaan darah sudah ditangan aku kembali berkonsultasi ke dokter. Dan kata dokter hasil tes widal ku menunjukkan aku terkena tipes. Tidak perlu rawat inap, cukup rawat jalan saja tidak apa-apa.

Aku cukup lega saat mengetahui penyebab aku sakit demam ini kenapa. Kemudian aku pulang dibekali dengan obat antibiotik, dan obat demam yang kurasa cukup paten soalnya pake tempat botol kaca.

Aku akhirnya mulai meminum obat yang diberikan dokter secara rutin. Walau rupanya aku masih sempat naik turun lagi demamnya. Akupun sampai hopeless. Obat demam paten yang di kasih sudah mau habis tapi kok belum sembuh-sembuh. Eh rupanya tepat tersisa 3 tablet aku akhirnya sembuh. Akupun senang dan sudah tidak memikirkan lagi apa yang kemaren kualami.

Tanggal 9 Oktober 2019

Hanya berselang 13 hari dari aku berobat aku mulai merasa ada yang beda dengan perutku. Seperti agak membuncit, tapi badanku tetap sama tidak menggendut. Saat aku timbang badan aku juga mengalami penambahan BB dan aku waktu itu senang-senang saja tanpa memikirkan ada hal yang ganjil. Sebenarnya aku udah merasakan ada yang aneh dengan perutku ini. Apalagi saat aku buang air kecil dalam posisi jongkok. Perutku seperti mengembang macam ibu hamil dan lebih menonjol lagi di bagian kandung kemihnya. Aku tidak berpikir macam-macam, kupikir hanya karena kebanyakan makan hahahaa.

Sampailah saat mamakku melihat ada yang berbeda dengan perutku. Mamakku mengatakan ada yang tidak wajar dengan bentuk perutku. Mamakku takut aku mengalami sakit liver atau hati. Mengingat nenekku dulu ada masalah dengan livernya. Aku bilang tidak ada apa-apa, aku baik-baik saja. Aku berkata seperti itu karena memang tidak ada keluhan apa-apa hanya merasa buncit saja. Namun untuk membuat mamakku merasa lega akhirnya aku memutuskan untuk periksa ke dokter spesialis di rumah sakit dekat rumah yang sebelumnya aku periksa disana.

Tanggal 10 Oktober 2019

Aku kembali berobat mandiri di rumah sakit dekat rumahku. Kali ini aku langsung menembak untuk berobat ke dokter spesialis penyakit dalam. Saat aku bertemu dokter aku mengeluhkan keluhanku terkait perutku yang sedikit membuncit. Tapi saat itu aku lebih menekankan kalau kadung kemihku seperti balon mengambang saat aku jongkok berkemih. Lalu dokter pun melakukan pemeriksaan fisik, kemudian menjadwalkan aku untuk dilakukan pemeriksaan usg vesica urinaria (kandung kemih), dan pemeriksaan darah lagi. Tapi kali ini pemeriksaan darahnya lebih fokus ke fungsi hati dan ginjal.

Tanggal 11 Oktober 2019

Hari ini aku dijadwalkan untuk pengambilan darah dan usg vesica urinaria. Saat itu aku udah ngempet pipis banget dan nggak boleh pipis sampai selesai di usg, sungguh bikin keringet dingin wkwkkwkw.

Akhirnya tiba giliranku untuk di usg oleh dokter radiologi. Aku menceritakan keluhanku dan lagi-lagi aku menekankan kandung kemihku yang seperti balon. Lalu dokter memeriksa dan tidak menemukan hal yang ganjil dengan kandung kemihku. Bahkan bagian kandunganku juga sekalian di usg dan tidak ada masalah. Harus ku akui dokter ini sangat telaten dan tidak puas hanya melihat seperti itu, apalagi aku memiliki keluhan.

Dokter radiologi ini kemudian menggerakkan alat usg menuju samping tubuhku dan terkejut karena bagian samping kananku ada cukup banyak cairan di perut. Akhirnya dokter memeriksa bagian perutku dengan seksama baik liver, prankreas dan organ-organ lain. Bahkan dokter radiologi sampai mengarahkan alat usg nya sampai tepat dibawah diafragmaku bagian kanan. Dan menemukan lebih banyak lagi cairan di pleuraku.

Saat itu aku sedih sekali, aku bingung apa yang terjadi padaku. Aku hampir saja menangis tapi tidak jadi karena di temani adekku wkkkwkw. Basic kesehatan membuatku sedikit parno. Mengingat di tubuhku sekarang ada asites (cairan di perut) dan cairan di pleura (selaput paru-paru).

Dokter radiologi menduga apa mungkin aku ada masalah dengan metabolik atau aku hipoalbumin. Karena untuk semua organ dalam perut semua normal.

Oh ya, semua aku berobat mandiri ya. Dan saat pemeriksaan darah untuk fungsi hati dan ginjal ini harganya cukup menguras kantong. Sekitar 300 ribuan untuk pemeriksaan darahnya dan 115 ribu untuk usgnya belum termasuk biaya dokter. Untuk usg nya tidak jadi usg vesica urinaria, tapi malah jadi usg abdomen.

Tanggal 12 Oktober 2019

Aku kembali ke dokter spesialis penyakit dalam. Dan dokter tersebut pun tekejut juga dengan hasil pemeriksaan usg ku. Kok bisa ada cairan seperti itu, padahal kondisi liver dan hasil pemeriksan darah untuk fungi hati dan ginjal baik dan normal. Akhirnya dokter menyarankan aku untuk ke dokter spesialis kandungan untuk memastikan bahwa kandunganku baik-baik saja dan tidak ada masalah.

Atas saran dari dokter spesialis penyakit dalam akhirnya aku memutuskan untuk periksa ke dokter kadungan. Tapi kali ini aku berencana mencoba menggunakan BPJS. Sekalian mencoba apa bisa BPJS ku digunakan selain hanya berobat ke puskesmas.

Tanggal 14 Oktober 2019

Aku datang ke puskesmas pagi-pagi. Kemudian aku menceritakan apa yang terjadi denganku. Aku bercerita terdapat asites dan cairan pleura, dan di sarakan dokter spesialis dalam untuk periksa ke dokter kandungan.

Akhirnya puskesmas memberikan surat rujukan BPJS. Aku meminta RS yang sama dengan yang kemaren aku periksa. pikirku biar lebih mudah melihat rekam medisnya. Aku di jadwalkan untuk berobat ke dokter spesialis kandungan esok hari.

Tanggal 15 Oktober 2019

Karena ini usg kandungan so pasti aku harus minum banyak dan menahan pipis lagi. Dan lagi-lagi sampai keringet dingin wkwkwkkw.

Saat usg dokter kandungan langsung cekatan dan berkata tidak ada masalah apa-apa dengan kandungan tapi memang ditemukan ada banyak cairan di perut. Jadi alhamdulillah kandunganku baik-baik saja. 

Oh ya karena ini pakai BPJS semua benar-benar tidak bayar, baik dari biaya dokter sampai pemeriksaan usg kandungan. Jadi setelah selesai pemeriksaan aku cuma menumpuk tagihan pemeriksaan di kasir. Dan aku langsung daftar lagi untuk berobat ke dokter spesialis dalam besok hari memakai jalur umum/mandiri.

Tanggal 16 Oktober 2019

Aku datang pagi-pagi sekali untuk berobat. Sambil membawa hasil usg kandungan kemaren dan mengeluh mulai 2 hari yang lalu setiap solat waktu gerakan sujud aku mulai batuk tanpa sebab serta tidur menggunakan 3 bantal. Setelah dokter memeriksa hasil usg kandungan, dokter memutuskan untuk merujukku ke RSUD untuk ke poli parunya untuk melihat apa yang bermasalah ada di parunya. Waktu itu aku di tanya apa ini menggunakan BPJS, aku bilang tidak dan tidak apa-apa untuk menggunakan umum. Akhirnya dokter memberikan surat rujukan untuk ke RSUD dan aku diminta kesana selagi sempat dan masih pagi. Agar bisa segera ditangani.

Hari ini juga aku langsung menuju RSUD. Saat mendaftar aku baru tau kalo tidak ada poli paru disana. Akhirnya lagi-lagi aku di alihkan ke poli penyakit dalam.

Saat bertemu dengan dokternya, sangat koperatif dan cermat. Dokter juga langsung memintaku untuk segera ronsen dada, dan mengatakan saat hasil sudah keluar segera kembali berkonsultasi. Akhirnya setelah hasil sudah ditangan aku segera kembali ke poli. Dokter mengatakan ada banyak sekali cairan di pleuraku. Saat melihat hasil ronsenku aku terkejut. Paru kananku mengecil tidak mengembang. Kira-kira yang nampak 2/3 nya saja. Pantas saja aku mulai merasakan sesak saat tidur tidak di ganjal dengan 3 bantal. Rasa sesaknya juga mulai menyiksa. Seperti ingin di cabut nyawanya wkwkwkw.

Ronsen toraks di RSUD
Tampak efusi pleura unilateral paru kanan

Akhirnya dokter merujukku ke RSUP. Lagi-lagi dokter bertanya apa menggunakan BPJS, aku jawab tidak dan tidak apa-apa jika menggunakan umum.

Sebagai informasi aku bayar mandiri saat berobat di RSUD. Dan aku terkejut dengan biaya dokternya dan pemeriksaannya dong! Murah sekali sampai aku membatin apa benar ini harga jasa untuk dokter spesialis? Waktu itu aku membayar 100 ribu untuk ronsen dada dan 25 ribu untuk biaya dokter spesialisnya. Cukup sedih dan kasian sih melihat tarif dokternya. Mengingat ini dokter spesialis dan pasiennya banyak banget.

Tanggal 17 Oktober 2019

Karena ini di RSUP, pagi-pagi sekali aku sudah berada di rumah sakit. Dan benar saja ramainya bukan main. Di rumah sakit ini terdapat 2 poli untuk paru, ada poli paru infeksi dan non infeksi. Aku mendaftar di poli paru non infeksi. Saat Sudah tiba giliranku aku menceritakan keluh kesahku. Dan dokter langsung cepat tanggap setelah melihat hasil ronsen dadaku yang ku bawa dari RSUD serta hasil pemeriksaan lainnya. Dokter segera melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh, dokter juga bertanya kemungkinan-kemungkinan yang menjadi faktor resiko TB.

Dokter langsung menjadwalkan hari itu juga nanti siang sekitar jam 13.00 untuk dilakukan usg paru dan thoracocentesis (pungsi pleura). Pungsi pleura merupakan tindakan invasif dengan memasukkan jarum melalui dinding toraks untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura. Bagi yang penasaran dengan prosedur dan teknik melakukannya bisa baca ini ya thoracocentesis. 

Selain itu dokter juga menjadwalkan aku untuk pengambilan sputum dahak. Dokter juga menjelaskan bahwa nanti cairan pleura yang diambil akan di analisis cairan pleuranya serta akan di lakukan pemeriksaan ADA test (Adenosin Deaminase). ADA test merupakan pemeriksaan untuk melihat ada tidaknya bakteri TBC dalam cairan pleura. Bagi yang penasaran dengan ADA test bisa baca jurnal ini ya ADA Test (Adenosine Deaminase) atau disini untuk seputar ADA test. Karena jurnal dan artikelnya bahasa inggris buat kalian yang kurang bisa berbahasa inggris bisa cek sedikit cuplikan disini ADA test.

Oh ya, lagi-lagi dokter spesialis paru menanyakan apa aku menggunakan BPJS atau tidak. Dokter menanyakan hal ini karena berkaitan dengan biaya pemeriksaan usg paru, biaya tindakan pungsi pleura, alat-alat tindakan pungsi, serta biaya pemeriksaan lab terkait dengan cairan pleura, ADA test dan sputum. Dokter paru bilang harganya lumayan mahal dan aku berkata tidak apa-apa jika harus menggunakan umum/mandiri. Menurutku setidaknya lebih cepat lebih baik cairan ini di eksekusi, agar aku tidak sesak lagi.

Jam 13.00

Tiba saatnya aku untuk dilakukan tindakan usg paru dan pungsi pleura. Saat dilakukan usg paru dokter berkata ini cairannya banyak banget mbak, apa tidak sesak. Aku berkata tidak, hanya saja jika tidur harus menggunakan 3 bantal agar terasa nyaman.

Prosedur pungsi pun di mulai. Aku ingat sekali waktu itu menggunakan jarum abocath (jarum infus) ukuran 16G warna abu-abu. Sebagai informasi ukuran jarum infus semakin kecil nominalnya semakin besar jarumnya. Saat di tusuk terasa sakitnya. Jelas saja jarumnya lumayan besar hehehe. Setelah jarum ditusuk dengan arahan usg paru, jarum di arahkan ketempat cairan berada. Kemudian diambil menggunakan spiut 20 ml sebanyak 2 spiut, dan 1 spuit 10 ml. Setelah itu cairan di alirkan ke urine bag dan didapatkan hasil 800 ml lebih dikit. Sedikit informasi, normalnya cairan pleura hanya 10 ml saja.

Selama proses tindakan dan setelahnya

Dokter paru bertanya apa aku sesak atau tidak selama tindakan. Jika aku mengalami hal tersebut maka prosedur akan di hentikan. Aku tidak mengalami hal itu selama prosedur. Dokter berkata bahwa cairan ini kemungkinan tidak akan diambil semuanya maksimal 1 liter saja. Jadi jika ada sisa dan belum habis ya disisakan saja. Dokter memprediksi kemungkinan ada sekilar 1,2-1,5 liter cairan dalam tubuhku, mengingat cairan juga terdapat pada perutku. 

Untuk asites tidak di lakukan tindakan apa-apa ya. Hal ini untuk meminimalisir terjadinya resiko infeksi, dikarenakan bagian perut terlalu banyak organ-organ.

Setelah tindakan yang kurasakan terasa sengkrang-sengkrang dan nyeri pada luka tusukan. Oh ya, aku sehabis dilakukan tindakan juga langsung ke laboratorium untuk meminta botol sputum. Disana di jelaskan prosedur pengambilan sputumnya. Aku dapat 2 botol, 1 botol untuk dahak sebelum tidur malam, dan 1 botol lagi untuk dahak setelah bangun tidur. Dikarenakan aku tidak mengalami batuk berdahak jadi dokter memberikan aku obat pengencer dahak untuk membantu aku dalam proses pengumpulan sputum, obat nyeri dan obat demam untuk antisipasi jika aku mengalami demam. Dokter berkata nanti konsul lagi jika semua hasil pemeriksaan sudah keluar.

Biaya

Untuk terkait biaya karena aku bayar mandiri, pemeriksaan hari ini menghabiskan 930 ribuan untuk pemeriksaan lab ADA test, sputum, dan analisis cairan pleura. Alat-alat pungsi seharga 51 ribuan. Untuk tindakan usg paru dan pungsi pleura 320 ribuan. Serta 120 ribuan untuk pemeriksan ke dokter spesialis paru.

Lanjut ke part 2 ya

Dikarenakan ni ceritanya semakin panjang, maka aku putuskan untuk lanjut ke part 2 aja ya. 

Perkenalkan, namaku istapuspit. Aku suka menulis dan sharing. semoga informasi di blogku bermanfaat ya

Leave a Reply

Your email address will not be published.